Kolaborasi PINTU Incubator dengan menggandeng tiga siswa dari École Duperré Paris, yaitu Pierre Pinget, Bjorn Backes, dan Mathilde Reneaux di JF3 Fashion Festival 2025 untuk merayakan perpaduan tradisi dan inovasi antar negara.
Ketika Mode Mengkritisi Konsumerisme terhadap Makhluk Hidup
Desainer asal Perancis, Mathilde Reneaux, mempersembahkan koleksi kontemplatif bertajuk Syrius, it dog sebagai refleksi mendalam atas relasi manusia dengan hewan peliharaan. Terinspirasi dari anjing peliharaannya sendiri, Syrius, Reneaux menyoroti bagaimana masyarakat modern kian memperlakukan hewan sebagai komoditas, bukan lagi makhluk hidup, melainkan simbol status yang bisa dimiliki dan dipamerkan. Koleksi ini mengangkat isu fetisisasi hewan dalam budaya populer dan industri mode, menjadikan fashion sebagai ruang kritik terhadap konsumerisme yang mereduksi nilai kehidupan.
Melalui lima siluet utama dan satu lini aksesori, Reneaux menyusun narasi visual yang menggambarkan transformasi seekor anjing dari makhluk liar menjadi objek yang dikomodifikasi sepenuhnya. Tahap demi tahap dalam koleksi ini mencerminkan pergeseran peran: dari hewan bebas, menjadi sahabat, lalu berubah menjadi aksesori, citra, dan akhirnya stereotip. Desain tas berbentuk tubuh anjing yang terdistorsi menjadi elemen kunci, merepresentasikan dampak praktik pembiakan ekstrem demi estetika tanpa mempertimbangkan kesehatan hewan. “It-bag berubah menjadi it-dog,” ujarnya, menggambarkan bagaimana simbol status kini melekat pada makhluk hidup.

Kritik Reneaux tidak hanya hadir dalam bentuk visual, tetapi juga lewat proses produksi yang dipilihnya. Ia menolak pendekatan industri massal dan lebih memilih teknik bordir handmade sebagai bentuk perlawanan. Bordir dalam koleksi ini menjadi tindakan simbolis untuk menyentuh kembali nilai-nilai kehidupan, memperlambat proses, dan mengajak audiens merenung. Material seperti kulit, logam, dan kain bordir digunakan untuk menggarisbawahi ketegangan antara budaya konsumsi dan keahlian kerajinan, sekaligus menunjukkan bagaimana fetisisasi bekerja secara halus namun meresap.
Dengan enam tampilan lengkap dan aksesori yang mendukung narasi, Syrius, it dog menjadi bukti bahwa mode bisa menjadi medium pemikiran kritis. Reneaux menolak standar produksi massal dan memilih pendekatan made-to-order demi menjaga integritas setiap karya. Melalui koleksi ini, ia mengajak kita untuk meninjau kembali cara kita memperlakukan hewan, serta mempertanyakan peran budaya dan industri dalam membentuk cara pandang tersebut. Mode, dalam tangan Reneaux, menjadi ruang filosofis yang menyuarakan empati dan tanggung jawab terhadap makhluk hidup.
Aksesori Menjadi Relik Kenangan
Dalam koleksi terbarunya bertajuk REQUIEM, desainer asal Jerman, Björn Backes, menampilkan pendekatan emosional dan arsitektural yang kuat. Ia mengubah benda-benda sehari-hari seperti tiket dan potongan kertas menjadi aksesori yang menyimpan kenangan. Koleksi ini dipamerkan dalam ajang mode bergengsi dan dirancang sebagai bentuk penghormatan terhadap memori, menjadikan pakaian dan aksesori sebagai media ekspresi personal yang dalam dan bermakna.
Terinspirasi dari arsitektur Gotik, Backes menggabungkan logam, kulit, dan teknik chainmail dalam karya-karya berstruktur tinggi. Elemen seperti langit-langit gereja berkubah dan ornamen batu diterjemahkan ke dalam tas, jaket, sabuk, serta perhiasan yang kompleks. Detail seperti kantong tersembunyi dan kompartemen kecil dirancang untuk menyimpan suvenir pribadi, seolah menciptakan “altar kecil” tempat kenangan dipamerkan, bukan disembunyikan.

Teknik pemotongan laser dan penyusunan manual digunakan untuk membentuk detail geometris yang menyerupai struktur katedral. Material seperti kulit dan cincin logam menciptakan aksesori dengan karakter teatrikal yang kuat—mengingatkan pada cara Gereja Katolik memperlakukan relik suci. Dalam koleksi ini, cahaya dan bentuk menjadi cara untuk “memuliakan” sesuatu yang tidak kasat mata: memori dan perasaan yang tersimpan dalam benda-benda kecil.
Terdiri dari 10 tampilan lengkap, koleksi REQUIEM hadir sebagai narasi utuh yang memadukan perlindungan fisik dengan beban emosional. Sebagian besar item dibuat dalam sistem made-to-order, memungkinkan pelanggan mengirimkan suvenir pribadi untuk dijadikan aksesori unik. Melalui karya-karya ini, Björn Backes menunjukkan bahwa mode tidak hanya bisa menyentuh tubuh, tetapi juga menyentuh jiwa, menjadikan kenangan sebagai pusat dari keindahan yang bisa dikenakan.
Tafsir Feminin Dunia Mafia dalam Tailoring Italia
Koleksi terbaru karya Pierre Pinget menyuguhkan interpretasi tajam dan elegan atas citra mafia klasik melalui perspektif feminin. Lewat elemen visual seperti jas double-breasted, topi fedora, dan teknik tailoring presisi, sang desainer menghadirkan narasi baru: perempuan sebagai sosok Don, bukan hanya pewaris kekuasaan, tapi juga pengubah tatanan. Dengan pendekatan ini, simbol-simbol maskulin yang selama ini menjadi lambang dominasi kini dipakai untuk menegaskan otoritas perempuan modern.

Berakar dari warisan tailoring tradisional Neapolitan, koleksi ini lahir dari pengalaman langsung sang desainer saat belajar di bawah bimbingan Master Tailor Antonelli Lello di Napoli. Di sana, ia menguasai teknik fully canvassed yang 95% dijahit dengan tangan—sebuah metode yang semakin langka di tengah dominasi fast fashion. Teknik tersebut digunakan bukan sekadar sebagai keahlian teknis, tetapi sebagai landasan simbolik dalam merekonstruksi pakaian sebagai alat penyamaran, kekuasaan, dan strategi, sebagaimana ditampilkan dalam film klasik seperti The Godfather dan Casino.
Koleksi ini tidak sekadar meniru estetika mafia pria, tetapi menyuguhkan tafsir yang lebih halus dan penuh makna. Benang-benang kasar sengaja dibiarkan terbuka sebagai simbol jaringan kekuasaan yang tersembunyi, serta metafora pilihan: antara kesetiaan terhadap sistem atau pembebasan dari warisan patriarki. Setiap potongan, dari mantel oversized hingga celana high-waist, dirancang untuk menonjolkan ketegasan dalam keanggunan—kekuatan yang lahir dari struktur, kualitas, dan ketelitian.
Material mewah seperti wol flanel, sutra organza, dan velvet ungu iridescent dipilih dengan teliti, semuanya dijahit menggunakan teknik klasik yang tahan lama. Seluruh koleksi dibuat secara made-to-order di atelier Paris sang desainer, dengan komitmen pada keberlanjutan melalui penggunaan deadstock Italia dan minimnya penggunaan mesin. Lebih dari sekadar koleksi busana, karya ini menjadi pernyataan berani tentang reposisi perempuan dalam narasi kekuasaan, sebuah warisan baru yang penuh makna dan keanggunan.






